MAKALAH
ILMU
SOSIAL DASAR
“TRADISI
DAN UPACARA ADAT SUKU SUMBA”
Disusun Oleh:
RAHMA
INDAH SAFITRI
55415553
KELAS 1IA03
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
TEKNIK INFORMATIKA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas
ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “TRADISI DAN UPACARA ADAT SUKU SUMBA”.
Makalah ini diajukan guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Saya mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah Ini memberikan
informasi yang lebih luas dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan serta
meningkatkan ilmu pengetahuan kepada pembaca khususnya Mahasiswa dan Mahasiswi
Universitas Gunadarma.
Depok, Januari 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..... i
KATA PENGANTAR………………………………………………………..... ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. iii
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1
1.1 Latar
Belakang Masalah………………………………………………...…. 1
1.2 Tujuan
Masalah………………………………………………………..….. 1
BAB II. SEJARAH/ASAL USUL………….................................................. 2
BAB III. TRADISI SUKU………………………………………………...….. 3
3.1 Kepercayaan
dan Tradisi suku Sumba………………………………..….. 3
3.2
Kekerabatan……………………………………………………………...… 3
3.3 Adat dan
Seni Budaya…………………………………………………….… 3
3.4 Pakaian
adat………………………………………………………………… 4
3.5 Mata
Pencaharian………………………………………………………………4
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………..… 5
4.1 Kesimpulan………………………………………………………….…..…... 5
4.2 Saran……………………………………………………………………..….. 5
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. iv
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku Sumba berada di Pulau Sumba
yang menduduki wilayah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Berdasarkan
cerita yang sudah turun temurun, Sumba lahir dari empat
pendaratan para leluhur. Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha
(2008:40) menyatakan bahwa pendaratan para leluhur itu diatur
strategi, seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap tana Humba .
Di Sumba Barat dan Sumba
Timur , mengalami perbedaan keyakinan terhadap adat akibat dari
pengaruh moderenisasi. Namun, di Kabupaten Sumba Timur terjadi pergeseran
terutama kaum mudanya. Beberapa dari mereka sudah mulai terpengaruh dari segi berpakaian dan
mereka mulai lupa pada bahasa ibunya sendiri. Pada hal bahasa ibu
merupakan salah satu ciri budaya suatu daerah. Ini mejadi keprihatinan
pemerintah Sumba terhadap kepercayaan adat mereka. Terlepas dari itu adat
budaya suku Sumba masih terjaga sampai hari ini.
Kepercayaan mereka adalah
kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat
hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba asli. Mereka menganut paham Dinamisme.
Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan ini adalah untuk membantu masyarakat umum memperoleh pengetahuan umum
dan memahami tentang sejarah atau asal usul Suku Sumba dan tradisi berupa
upacara adat yang ada di Sumba dan tata cara kehidupan, serta nilai-nilai yang
dapat kita ambil dari tradisi suku Sumba.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Asal
Usul Suku Sumba
Suku
Sumba berada di Pulau Sumba yang menduduki wilayah Kabupaten Sumba Barat dan
Sumba Timur. Berdasarkan cerita yang turun temurun, konon Sumbu lahir dari
empat pendaratan para leluhur. Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha
(2008:40) menyatakan bahwa pendaratan para leluhur tu diatur strategi
seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap tanah Humba sebagai berikut:
1.
Rombongan I mendarat di Haharu Malai
Kataka Linndi Watu
2.
Rombongan II mendarat di La Panda
Wai Mananga Bokulu.
3.
Rombongan III mendarat di Wula
Waijilu-Hongga Hillimata.
4.
Rombongan IV mendarat di Mbajiku
Padua Kambata Kundurawa.
Di
Sumba Barat dan Sumba Timur ini mengalami perbedaan keyakinan terhadap adat
akibat dari pengaruh moderenisasi. Suku Sumba cukup dikenal sebagai suku yang
masih menjaga kuat adat. Namun, di Kabupaten Sumba Timur terjadi
pergeseran terutama kaum mudanya. Beberapa dari mereka sudah mulai
terpengaruh dari segi berpakaian dan tidak hanya itu, yang lebih parahnya lagi
adalah mereka mulai lupa pada bahasa ibunya sendiri. Ini mejadi keprihatinan
pemerintah Sumba terhadap kepercayaan adat mereka. Terlepas dari itu adat
budaya suku Sumba masih terjaga sampai hari ini.
Kepercayaan
mereka adalah kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa,
masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba ash. Mereka menganut paham
Dinamisme. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba
mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat
dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil
sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta
perlengkapan perhiasan dan senjata.
Di
Sumba stratifikasi sosial masih diterapkan. Strata sosial antara kaum bangsawan
(maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku,
walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara
nyata pada tata rias dan busananya. Sehingga pakaian pada rakyat Sumba itu
mejadi penting karena akan menentukan berada di strata sosial mana ia. Hal ini
ditunjukkan oleh kain yang berlembar-lembar menumpuk badan mereka.
Busana
pada pria misalnya. Busana pria Sumba terdiri atas bagian-bagian penutup
kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata
tajam. Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan
hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan
sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau kadang-kadang juga
hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara
patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang
menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau
samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di
depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara
terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat
dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.
Pada
wanita pun sama, kain diberi nama sesuai dengan teknik tenunnya dengan warna
yang berwarna-warni. Seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu
kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku)
dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung. Juga
perhiasan dan hiasan di kepala mereka. Masyarakat suku Sumba menganut pola
kekerabatan yang patrilineal. Pola kekerabatan dimana ayah atau kakek mereka
yang akan menjadi identitas orang-orang suku Sumba.
BAB III
TRADISI SUKU
3.1
Kepercayaan dan
Tradisi Suku Sumba
Mayoritas suku Sumbawa saat ini
memeluk agama Islam, pasca ‘penaklukkan’ Kerajaan Hindu Utan atas Kerajaan
Gowa-Sulawesi proses Islamisasi berlangsung dengan gemilang melalui segala
sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, bahkan segala bentuk tradisi
disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam lawas:
·
Ling dunia pang tu nanam (di dunia
tempat menanam)
·
Pang akhirat pang tu matak (di
akhirat tempat menuai)
·
Ka tu boat po ya ada (setelah
beramal baru memetik hasilnya
·
Na asi mu samogang (jangan kamu
menganggap remeh)
·
Paboat aji ko Nene’ (mengabdi kepada
Allah)
·
Gama krik slamat dunia akhirat (demi
keselamatan dunia akhirat)
Semenjak
munculnya pengaruh kebudayaan Islam, boleh dibilang suku Sumbawa tidak mengenal
unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya Islamlah yang mampu mempertautkan
rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang yang
telah turun-temurun menjadi suku Sumbawa.
Bukti-bukti arkeologis yang
diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarko fagus, nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa suku
Sumbawa purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan
kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya
menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas
generasi.
3.2
Kekerabatan
Masyarakat suku Sumba menganut pola
kekerabatan yang patrilineal. Pola kekerabatan dimana ayah atau kakek mereka
yang akan menjadi identitas orang-orang suku Sumba. Dampak positifnya yaitu; suku Sumba dapat lebih dikenal oleh
orang lain, bahkan dibeberapa bagiannya menjadi tempat wisata. Tetapi ada juga
faktor negatif yang lahir dari keterbukaan dan moderenitas zaman. Beberapa
orang-orang muda suku Sumba sebagian sudah mengenal dan hidup bergaya
masyarakat moderen pada umumnya. Mulai dari cara berpakaian, berbahasa,
dan tentu ini akan memengaruhi pola berpikir, sehingga ditakutkan jika ini
terus terjadi akan merusak pola adat yang sudah mengental di suku Sumba. Ini sebagian dari dampak moderenitas.
Perlu perhatian
khusus dari pemerintah yang telah terus mengupayakan
pelestarian budaya dan adat suku Sumba. Hal ini juga perlu diperhatikan oleh
masyarakat pada umumnya bahwa menjaga dan memahami betul budaya dan adat
lingkungan sendiri adalah hal penting agar terus terjalin keselarasan dalam
kehidupan.
3.3 Adat & Seni
Budaya
Adat adalah suatu peraturan yang tidak boleh di langgar
oleh suatu masyarakat yang notabene merupakan undang-undang yang tidak tertulis
namun mengikat. Dalam segala bentuk kesenian
tradisional Sumba akan kita dapati atau kita rasakan nafas kehidupan adat
setempat, baik kehidupan adat yang pernah ada di masa lampau, maupun adat yang masih
dihayati masyarakat masa kini.
Adat-adat yang
dianut oleh suku Sumba:
a. Dalam seni kriya; kain tenun Sumba (Timur) sangat
disukai pola klasik dengan ornamen yang bermotifkan pohon adung. Motif pohon adung
menggambarkan adanya adat mengayau kepala manusia pada masa lampau.
b. Dalam
seni tari ada jenis tarian perang yang selalu disertai adegan mengayau,
memenggal kepala musuh seperti apa yang dilakukan pada masa lampau.
c. Dalam
seni sastra juga ada saja-sajak (lirik) untuk lagu-lagu pengayauan.
d. Dalam
seni rupa kita memperoleh gambaran adat kematian, penguburan yang wajib
disertai kurban kerbau, seperti yang dipahatkan pada nisan dan batu kubur.
Gambar
2.1 Tarian adat suku sumba
3.4
Pakaian adat
Di Sumba stratifikasi sosial masih
diterapkan. Strata
sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata
(ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam masa laku. Pakaian rakyat Sumba itu mejadi
penting karena akan menentukan berada di strata sosial mana ia. Hal ini
ditunjukkan oleh kain yang berlembar-lembar menumpuk badan mereka. Busana
pria Sumba terdiri atas bagian-bagian
penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya, berupa perhiasan dan senjata
tajam.
Pada wanita pun sama, kain diberi
nama sesuai dengan teknik tenunnya dengan warna yang berwarna-warni. Seperti
lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut
dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna
dengan sarung. Juga perhiasan dan hiasan di kepala mereka.
3.5 Mata Pencaharian
Faktor penting lainnya yang ikut
menentukan produk dari bentuk-bentuk kesenian tradisional sekelompok suku ialah
mata pencarian pokok. Sekelompok suku yang masih hidup secara nomadis, bermat
apencarian berburu, pasti tidak akan mempunyai cukup waktu untuk membuat kain
tenun dengan ornamen rumit yang proses pembuatannya menuntut waktu lama dan
tempat pembuatan yang tidak berpindah-pindah. Tidak pula punya waktu untuk
memahat patung, ukiran, dan relief dengan ornamen yang rumit. Juga tidak merasa
berkepentingan untuk mendirikan rumah-rumah besar lagi kokoh yang memerlukan
waktu dan banyak tenaga. Mereka yang hidup dari berburu atau menangkap ikan.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas dua kabupaten, Sumba
Barat dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan
aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan
Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah
leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-tengah masyarakat Sumba ash.
Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari
upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata
cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai
dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta
perlengkapan perhiasan dan senjata. Jadi hargailah budaya negeri kita dan jangan
menganggap remeh budaya suatu suku sebab “setitik atol” itu adalah yang paling
berharga di tengah segala sesuatu yang berharga. Menyimpan kekayaan geografis
dan antropologis.
4.2 Saran
Mungkin
bagi segelintir orang menganggap Sumba sebagai setitik atol di tengah samudera
raya, namun setitik atol itu mengandung arti yang dalam, dan bernilai budaya
tinggi ibarat “sebatang emas yang terpendam di tengah ribuan
batang perak”, diantar yang berharga ada suatu yang lebih berharga dan
berarti. Jadi hargailah budaya negeri kita dan jangan menganggap remeh budaya
suatu suku sebab “setitik atol” itu adalah yang paling berharga di tengah
segala sesuatu yang berharga. Menyimpan kekayaan geografis dan antropologis.
DAFTAR
PUSTAKA
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/990/suku-sumba-nusa-tenggara-timur
diakses pada tanggal 24 Oktober 2015 jam 18:00
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sumba diakses pada tanggal 25 Oktober
2015 jam 19:00
http://anggorokn94.blogspot.co.id/2013/07/suku-sumba-nusa-tenggara-timur.html diakses pada tanggal 27 Oktober
2015 jam 19:00
http://oemboe-noble.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-orang-sumba.html diakses pada tanggal 30 Oktober
2015 jam 20:00
https://sumbapunyacerita.wordpress.com/2014/12/23/suku-sumba-nusa-tenggara-timur/ diakses pada tanggal 10 November
2015 jam 20:00
Mohon maaf, pada Bab III, tidak ada sama sekali keterkaitan dengan adat istiadat orang sumba. Kami harapkan ada perbaikan pada Bab tersebut.
BalasHapussorry ya,saya mau tanya...tulisannya tentang Sumbawa di Nusa Tenggara Barat atau Sumba yang ada di Nusa Tenggara Timur?
BalasHapus